Minggu, 28 Februari 2010

Placebo Taklukkan Jakarta



Tidak percuma Adrie Subono sebelumnya sesumbar sekaligus promosi besar-besaran melalui situs microblogging terkemuka, Twitter, mengenai kedatangan Placebo ke Jakarta dan juga peralatan canggih yang akan mereka bawa demi memaksimalkan aksi panggung mereka. Dengan membawakan 21 buah lagu dalam durasi kurang lebih 90 menit, Placebo memukau para penonton di Tennis Indoor Senayan yang haus akan pertunjukan musik rock berkualitas.

Tanpa basa basi, trio androgyny ini membuka penampilan mereka dengan membawakan single dari album Battle for the Sun yang berjudul “For What It’s Worth.” Dengan membawakan lagu tersebut, Placebo otomatis menarik para penonton untuk ikut melantunkan apa yang dinyanyikan vokalis/gitaris Brian Molko yang hari itu terlihat sangat flamboyan dengan pakaian serba hitamnya. Di sebelah kanan panggung, bassist Stefan Olsdal tak mau kalah flamboyan dengan mengenakan perpaduan kemeja hitam dan celana silver yang dilengkapi dengan glitter mengkilap seraya melakukan olah tubuh yang cukup unik dan lincah untuk ukuran seorang pria bertubuh jangkung.

Drummer Steve Forrest yang memakai tank top demi memamerkan tato yang ada di tubuhnya tampak sangat bertenaga memukul drumsetnya yang bertuliskan A New Tomorrow pada bass drum. Para additional player juga bermain sangat apik. Suara yang dikeluarkan dari speaker dan amplifier pun keluar dengan sangat bersih dan jernih. Hampir tidak ada cela di departemen itu. Tapi, apa yang membuat para penonton benar-benar tercengang adalah kehadiran LED yang menampilkan gambar-gambar indah dan dreamlike sebagai backdrop penampilan Placebo dari awal hingga akhir.

Berikutnya Placebo membawakan lagu-lagu yang diambil dari koleksi album baru maupun terdahulu mereka. Anehnya, mereka tidak membawakan satu lagu pun dari self-titled debut mereka. Dan itu berarti tidak ada “Nancy Boy”, “36 Degrees”, “Bruise Pristine”, dan juga “Teenage Angst”. Ya, inilah (mungkin) satu-satunya kelemahan dari konser ini; pemilihan lagu dari Placebo yang didominasi lagu-lagu dari album pasca Black Market Music yang notabene kurang menarik perhatian kritikus dan juga pendengar.

Mereka juga tidak membawakan hits-hits semacam “Pure Morning”, “You Don’t Care About Us”, “Without You I’m Nothing”, “Black Eyed”, “Slave to the Wage”, dan juga “English Summer Rain”. Untungnya, kelemahan itu bisa dibayar dengan dibawakannya lagu-lagu hits lain seperti “Every You, Every Me”, “Special Needs”, “Meds”, “Song to Say Goodbye”, “Special K”, dan juga “Bitter End”.

Seperti kebanyakan konser band lain, Placebo juga melakukan encore di mana mereka membawakan empat lagu sebelum mereka benar-benar menyudahi pertunjukan ini. Dan klimaks konser ini terjadi di sesi encore, tepatnya di lagu terakhir, di mana bassline dari lagu “Taste in Men” menyebar ke seluruh penjuru Tennis Indoor Senayan dan memaksa para penonton untuk menggoyangkan kepala.

Memainkan lagu “Taste in Men” sebagai lagu penutup adalah keputusan yang tepat, karena dari segala aspek lagu ini cocok sekali bergulir di puncak kenikmatan sebelum Placebo dan penontonnya merampungkan hubungan intim yang intens. Mungkin pemilihan set list secara umum adalah kelemahan bagi konser Placebo ini, namun untuk pemilihan lagu penutup Placebo mendapatkan sebuah bull’s eye. Impas? Secara keseluruhan, Placebo adalah konser Java Musikindo terbaik sejak Bjork menyihir Jakarta dengan mantranya 2 tahun, 4 hari yang lalu.

Video Teaser untuk album “Plastic Beach” nya Gorillaz




Band konseptual asal Inggris, buah dari kekreatifan nya Damon Albarn ini ternyata masih memiliki terobosan-terobosan yang bisa dibilang asoi didunia hiburan.
Walaupun anggota band nya terdiri dari karakter kartun, namun mereka memiliki kemasan dan teknik promosi yang menarik, seperti membuat berbagai macam video teaser yang menggunakan tehnik-tehnik animasi oke, seperti yang bisa kamu lihat disini.

Album ini tampaknya masih akan dominan trip-hop, dengan kolaborasi-kolaborasi bersama artis-artis hip-hop, namun dengan konsep yang lebih cinematik.

Albumnya sendiri akan beredar awal bulan Maret, terdiri dari dua versi, yaitu album biasa berisi CD dan booklet, dan satu lagi yang warna dominan hijau akan berisi tambahan DVD mengenai pembuatan album ini (dan kemungkinan besar berisi animasi-animasi keren). klik saja gambar kover nya untuk memesan.

Jumat, 26 Februari 2010

Trivum Live from Tennis Indoor


Trivium, band metal asal Florida tampil di Jakarta, kerancuan sempat hinggap di kepala. Berbagai media khususnya media metal sempat menjuluki Matthew Heafy, sang frontman sebagai prodigal son of metal dan yang paling ambisius adalah band ini kerap diprediksikan sebagai the next Metallica. Pertanyaannya, apakah karier Trivium yang mirip perjalanan Metallica, atau penampilan visual Matt Heafy yang semakin mirip Metallica? Dengan rambut yang gondrong dan dikriwil, sembari menenteng gitar Gibson Explorer warna putih, Heafy tampak seperti versi ganteng (dan muda) dari Kirk Hammet yang memainkan gitar James Hetfield.

Namun ternyata bisa diambil kesimpul-an bahwa hanya penampilan yang mirip Metallica, karena dalam penampilan malam itu terjadi sedikit momen ’Spinal Tap’, ketika band ini membuka konser dengan lagu-lagu se-perti ”Kirisute Gomen”, atau ”Becoming the Dragon” yang diwarnai sedikit problem teknis. ”Problem teknis selalu mewarnai performa setiap kali kami menjalani show pertama dalam rangkaian tur,” tutur Heafy kepada sekitar 3000 penonton yang memadati Tennis Indoor. Namun walau mengalami- masalah, vokalis/gitaris Matt Heafy, gitaris Corey Beaulieu, dan pemain bas Paolo Gregoletto tetap tenang dan sopan.

Yang terlihat kurang tenang adalah Nick Augusto, pemain drum teranyar Trivium yang baru masuk ke dalam band selama dua minggu, setelah pemain drum asli mereka, Travis Smith, tiba-tiba resmi mengundurkan diri 4 Februari lalu. Jadi wajar saja bila Nick, yang sebelumnya menjabat sebagai teknisi drum Trivium dan tiba-tiba ’naik pangkat’ ini, sedikit gugup terlebih mengingat pemain drum yang ia gantikan adalah sese-orang dengan skill andal yang sarat pujian dari media kredibel macam Modern Drummer.

Namun kegugupan sama sekali tak menghentikan kemampuannya memukau para penonton. Travis Smith hanyalah sejarah, masa depan milik Nick Augusto. Lagu-lagu seperti “Like Light to the Flies”, “Pillars of Serpents”, maupun “Ascendancy” memamerkan kemampuan Trivium sebagai musisi metal yang mumpuni. Pukulan drum super-rapat dan bergemuruh, duel solo gitar yang shredding di sana-sini serta pola bernyanyi growl/bernyanyi mewarnai nyaris tiap lagu yang dibawakan. Setiap lagu dipacu secara cepat tanpa banyak basa-basi bicara kepada penonton.

Namun basa-basi yang terjadi cukup layak disimak. Matt Heafy menceritakan awal karier Trivium di mana mereka tur keliling Amerika hanya menggunakan sebuah van, dan jarang mandi akibat harus selalu bergerak, dan kini mereka dilayani dengan maksimal oleh event organizer Indonesia, sesuatu yang mereka syukuri. Hal ini diikuti tepukan tangan dan suara hati yang mengatakan bahwa mereka memang layak mendapat kesuksesan yang telah mereka raih dengan kerja keras. Apalagi di usia yang sangat muda. Personel Trivium rata-rata berusia 23-24 tahun, sedangkan mereka telah berkarier selama nyaris 10 tahun. Silakan hitung sendiri betapa ABG-nya mereka ketika memulai dulu.

Di lagu ke 16, Trivium menunjukkan bahwa umur personel yang rata-rata muda bukan berarti selera muda. Sebuah cover “Slave New World” milik Sepultura dibesut dengan bertenaga maksimal, membuat sebagian crowd yang terlihat cukup berumur bernyanyi gila, dan sebagian crowd di bagian depan yang berusia muda hanya mampu bengong karena kurang memahami perbedaan era antara Sepultura dan Trivium.

“We are going to play a couple more songs for you. There will be no fake encore or whatever, this is your last chance to sing with us,” tukas Matt Heafy kepada crowd. Konser pun akhirnya ditutup dengan “Pull Harder on the Strings of Your Martyr” dan tanpa kehadiran encore. Dan itu bukan masalah. Karena dari 23 lagu yang dibawakan, air muka para penonton terlihat puas walau diakui pendengaran menjadi terganggu akibat suara PA yang disetel terlalu keras oleh sang sound engineer yang ‘trigger happy’ terhadap tombol volume.

Pesta Tentara Merah Darah


Pesta peluncuran album baru Siksakubur, Tentara Merah Darah yang digelar di Green Café, Kemang, Jakarta, Minggu (21/2) sore hingga malam lalu memiliki daya magnet yang cukup kuat. Pasalnya, acara ini berbarengan dengan festival metal akbar bertajuk Bla Bla Bla Fest yang digelar selama dua hari sejak Sabtu (20/2) lalu. Festival hari ke-2 ini pun menampilkan banyak band metal yang namanya cukup berkibar di kancah metal lokal serta menyisipkan sebuah band power metal asal Australia, Black Majesty.

Namun kenyataannya hal tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap hajatan album Siksakubur ini. Terbukti dari begitu padatnya metalheads yang bertandang. Dari luar venue, massa yang dominan berpakaian serba hitam sudah terlihat menyelimuti area parkiran. Sebagian besar massa mengaku hanya ingin masuk saat Siksakubur tampil di pentas. Sebagian lagi hanya ingin sekadar kongkow.

Dengan inspirasi dari cerita sejarah berbentuk novel dan film berjudul sama, 300 –mengisahkan 300 tentara Sparta melawan agresi kolonialisme bangsa Persia–, Tentara Merah Darah merupakan album studio ke-5 Siksakubur yang perilisannya memang telah diantisipasi oleh para penggemar band brutal death metal nomor wahid kelahiran Jakarta tersebut. Di bawah naungan label rekaman baru, Fast Youth Records, Tentara Merah Darah untuk pertama kalinya didemonstrasikan secara live. Tapi sebelumnya terdapat penampilan yang cukup mengentak ganas dari Catastrophe, Authority, Blooded Suicide, Revenge, Gigantor, Ozryel, Dead Vertical dan In Memoriam.

Sekitar pukul 21:16 WIB, tibalah di sajian utama. Cahaya panggung tiba-tiba mati hampir seiring dengan munculnya backdrop screen yang menampilkan sampul album Tentara Merah Darah. Satu per satu personil Siksakubur naik ke pentas mengeset instrumen tempurnya masing-masing. Sejak itu penonton segera merangsek ke depan panggung sambil berteriak-teriak seperti tidak sabar ingin menyaksikan band idolanya beraksi. Massa yang berada di luar pun segera masuk. Alhasil, suasana dalam venue menjadi terasa tambah padat dan panas meskipun mesin pendingan ruangan menyala.

Live Concret Boys Like Girls


Sekitar 3.500 penonton memamadati Tennis Indoor Senayan, Jakarta pada Senin pukul 8 malam, 25 Januari, kebanyakan terdiri dari remaja berusia sekitar 15-18 tahun. Ada yang bahkan lebih muda kalau dilihat dari banyaknya orang tua yang ikut menemani anak-anaknya dalam menyaksikan konser Boys Like Girls yang diselenggarakan Java Musikindo dan LA Lights ini.
Jeritan pun menandai keha-diran kuartet pop rock asal Boston, Amerika Serikat ini di atas panggung pada pukul 20:30 WIB. Vokalis-gitaris Martin Johnson naik ke panggung de-ngan menyanyikan sepotong “I Gotta Feeling”-nya Black Eyed Peas disusul rekan-rekannya, dan single “Love Drunk” dari album kedua BLG yang berjudul sama dijadikan lagu pembuka. Para Anak Baru Gede di lantai bawah maupun di balkon atas berdiri dan melompat-lompat sambil menjerit tiap kali pemain bas Bryan Donahue, gitaris Paul DiGiovanni dan Johnson berdiri di atas monitor di ujung panggung.
Secara keseluruhan, musik BLG bisa dikatakan sebagai pop rock yang kompeten tapi tidak terlalu istimewa, dengan lagu-lagu dari dua album yang cen-derung terdengar sama. Bahkan lelaki penggemar yang berdiri di belakang rolling stone dan ikut bernyanyi sepanjang konser berteriak-teriak “ `Thunder! Thunder!` ” saat Johnson memetik gitar akustik, padahal lagu yang dibawakannya adalah “Two Is Better Than One”, lengkap dengan suara tinggi oleh DiGiovanni yang mengisi peran Taylor Swift di versi rekamannya. (“Thunder” sendiri baru dibawakan menjelang akhir konser.)
Tapi jika Anda berusia 15 tahun, baru pertama kali menonton konser, mungkin ini salah satu pengalaman tak terlupakan. Atraksi BLG cocok bagi mereka yang sudah terlalu tua untuk Jonas Brothers, di mana Johnson berulang kali mengucapkan kata “fuck” dan “motherfucker”, menjilat gitar DiGiovanni yang sedang memainkan solo, menjilat botol air yang dilempar kepada penonton, dan bahkan mengajar penonton di barisan depan untuk membentuk lingkaran mosh pit di tengah-tengah lagu “Dance Hall Drug”. Mereka juga dengan senang hati menyanyikan “Happy Birthday” untuk DiGiovanni, dan Johnson memberikannya “hadiah” berupa topi SMA yang dilempar ke panggung.
Setelah menutup konser berdurasi sejam ini dengan “The Great Escape”, yang ditutup dengan crowdsurfing oleh Johnson. Setelah dia berhasil keluar dari kerumunan, dia berkata, “Thank you Jakarta, we can’t wait to come back.” Tapi di saat mereka datang lagi, apakah para ABG masih akan suka Boys Like Girls?

Rumahsakit (Reuni)


Ini bukan kali pertama rumahsakit menggelar reuni. Setahun lalu, mereka pernah tampil dalam pesta salah seorang kawan mereka. Dan akhir pekan itu, mereka reuni lagi dalam event berjudul Friends To Friends, ulang tahun ke-40 si kembar Anda Andi pemilik toko musik di Blok M, yang punya pergaulan luas sehingga membuat konser tanpa sponsor dan melibatkan lebih dari 20 band ibukota.

Sejak siang, penonton sudah membludak. Sebagian besar memang terlihat wajah remaja yang ada di sana. Itu sebabnya ketika kira-kira pukul delapan malam vokalis Andri Lemes sedikit tak percaya dengan ribuan orang yang ada di depannya dan menyambut Rumahsakit dengan bahagia. Sementara itu, gitaris Marky, pemain keyboard Micky, pemain bas Sadam dan pemain drum Fadhly hanya tersenyum memandang ribuan orang di depannya.

“Memang kalian tahu lagu Rumahsakit?” kata Lemes.

Penonton menjawab dengan suara lantang dan mencoba meyakinkan Lemes bahwa mereka benar-benar penggemar Rumahsakit. Dan lagu-lagu hits Rumahsakit pun dibawakan: “Hilang,” “Anomali,” “Datang,” dan “Kuning.” Di tengah-tengah penampilan, mereka memanggil gitaris Dion dan pemain drum Gori yang pernah menjadi personel Rumahsakit untuk ikut tampil.

Lemes, meskipun masih tampil dengan minim gerakan badan dan hanya sesekali bertepuk tangan, membuat ribuan orang di depannya ikut bernyanyi. Terlepas dari apakah benar mereka ikut mengalami masa ketika Rumahsakit berjaya, ribuan orang itu benar-benar hapal lagu-lagu yang dinyanyikan. Meskipun sudah lama tak manggung, Rumahsakit bermain solid malam itu.

Lagu “Pop Kinetik” dinyanyikan sebagai penutup, dengan David Naif, Wahyu Bangku Taman dan Adi Cumi dari Fable menjadi backing vocal. Beberapa jam setelah event berakhir, David membuat satu pengakuan. Dia menangis bahagia ketika melihat Rumahsakit tampil.

Burgerkill Website


Website Burgerkill sudah online kembali di alamat www.burgerkillofficial.com. Namun walaupun sudah online kembali, tampaknya sang webmaster belum kembali online karena berita terakhir yang beredar disitu adalah posting mengenai konfirmasi bahwa Burgerkill akan menjadi opening Black Dahlia Murder.

Mungkin untuk sementara para begundal penggemar Burgerkill dapat saling berhubungan melalui fitur Guestbook di website itu. atau lebih baik mengakses http://www.myspace.com/burgerkillofficial yang tampaknya lebih update.

Sementara itu kamu bisa baca-baca buku berjudul Myself, Scumbag: Beyond Life and Death karangan Kimung yang diterbitkan oleh Minor Books 2007. Sebuah buku mengenai Ivan Scumbag (r.i.p.) mantan vokalis Burgerkill yang juga merupakan tokoh penting di scene underground Indonesia

Rabu, 24 Februari 2010

SORE: SOMBREROS KIDDOS


Kabar gembira buat para fans Sore. Ya, band asal Jakarta yang digawangi oleh Awan (bass/vokal), Ade (gitar/vokal), Bembi (drum/ vokal), Echa (gitar/ vokal), Mondo (piano/ vokal), dan Dono (keyboard) ini bakal merilis EP baru.

EP yang akan dikasih judul Sombreros Kiddos ini rencananya bakal rilis Sabtu (13/3) mendatang.

"Ada lagu baru, remix, dan live-nya," ujar Mondo, membocorkan.

Rencananya, di tanggal yang sama mereka bakal menggelar launching party kecil-kecilan, yang kalo nggak ada perubahan bakal mengambil tempat di AOD Store, Panglima Polim, Jakarta.

Saosin Membakar Kota Kembang


The Venue Concert Hall, Eldorado, udah dipenuhi fans Saosin sejak siang hari. Hujan yang turun sama sekali ga menghalangi langkah ribuan muda-mudi Bandung, bahkan dari luar kota yang udah ga nahan buat berjingkrak bareng.

Konser dimulai jam 16.30, mundur 30 menit dari jadwal seharusnya. Cove Reber, Beau Burchell, Justin Shekoski, Alex Rodriguez, dan Chris Sorenson langsung menghentak dengan lagu pertama berjudul 'I Keep My Secrets Safe' dari album 'In Search of Solid Ground'.

Concert hall dengan kapasitas 3000 orang itu nyaris penuh. Penonton pun semakin terpuaskan dengan kualitas sound 40.000 watt yang menggetarkan lantai. Ditambah aksi khas Justin yang memutarkan gitarnya beberapa kali. Penonton semakin riuh bertepuk tangan.

Selalu ada hal lucu dalam sebuah konser. Cove meminta penonton untuk bikin circle-pit, namun penonton malah cuek atau ga ngerti, dan terus ngelanjutin jingkrakannya.

Sama dengan konser-konser lainnya, mereka pun memberikan sebuah endcore yang diakhiri dengan lagu berjudul 'They Perche on Their Stilts, Pointing, and Daring Me to Break Custom' dari album 'Translating the Name'. Seperti biasanya, Saosin menutup konser dengan foto satu band di atas panggung, membelakangi penonton. Ngga berhenti di situ saja, Chris dan Cove pun membagikan minuman, stick drum, kaos, dan lainnya.

Konser berakhir sekitar pukul 18.00. Semua penonton pastinya sangat puas, ditambah Cove yang turun panggung dan melayani permintaan foto dan tanda tangan dari fansnya. 'Saosin, nanti ke sini lagi ya!' ungkap salah satu penonton ketika rombongan Saosin meninggalkan venue.